Wani ngalah luhur wekasane
Berani mengalah mendapatkan kemuliaan/keluhuran (kemenangan) di kemudian hari
Disaat semua diukur dengan otak dan otot, tidak ada yang mau mengalah, saling menuding, saling mencemooh, saling adu argumen, adu mulut, adu jotos, berantem, masing-masing mengandalkan ego dan kekuasaanya untuk mencapai kemenangan dan enggan mengakui kekurangan dan kesalahan masing-masing. Pilihan untuk diam dan mengalah menjadi olokan ejekan dan kenaifan. Menjadi sesuatu yang paradoks.
Ada kekawatiran ada ketakutan, manakala kita mengalah dan diam kita akan semakin diinjak dan terpojok. Tidak dianggap dan merasa terzhalimi. Maka keluarlah teriakan, makian, kata-kata kotor, perlawanan dan kekerasan. Ini naluriah manusia untuk tetap survive, dan dihargai. Dan hal inipun alamiah, wajar, tidak bisa disalahkan. Siapa yang tidak teriak kalau diinjak. Rasanya sulit membayangkan untuk tetap diam jika diinjak.
Mengalah adalah sebuah pilihan
Demikian halnya dengan perlawanan, diam dan mengalah pun sebuah pilihan. Dengan kesadaran jiwa penuh untuk memahami dan melihat persoalan dengan jernih. Kita tidak menilai salah dan benar dengan emosional, tapi dengan pengendapan dan kebeningan sehingga semua masalah jelas terlihat. Dan ini tidak mudah, karena diperlukan kebesaran hati dan pikiran. Serta kerelaan dan ketulusan, pengendalian kesadaran yang penuh. Ini adalah sebuah kesesaran jiwa untuk mau meneliti dengan seksama.
Ketika kita diinjak, cobalah untuk melihat posisi diri dulu sebelum marah. Apakah posisi diri kita benar, tidak di jalanan di tempat orang lalu lalang, di tempat keramaian. Jika posisi diri kita sudah salah, tapi kemudian kita marah-marah itu artinya kita mempermalukan diri sendiri. Tapi jika posisi diri kita benar tapi masih diinjak juga, bolehlah kita marah dalam kadar yang wajar tidak berlebihan. Jadi kita punya jeda waktu, ada kesempatan untuk meneliti diri sendiri. Syukur-syukur jika kita memiliki jiwa malaikat mau memaklumi dan memaafkan orang yang menginjak kita. Kita bisa pahami mungkin ia tidak melihat, mungkin ia buru-buru, mungkin ia tidak sengaja, mungkin dikejar-kejar penjahat, atau banyak kemungkinan yang lain. Dan disisi positifnya kita masih punya kesempatan untuk menolongnya, bukankah itu suatu kebaikan. Dan kebaikan apapun yang kita tanam, kita sendiri yang akan menuai kelak. Dan ketika kita tersenyum dan memaafkan, maka rasa sungkan dan rasa bersalah orang yang menginjak kita yang akan muncul. Sehingga yang dia lihat adalah keluhuran budi pekerti dan keagungan kita, dan tanpa diminta pun ia akan sangat menghormati kebaikan kita.
Rasa sungkan yang mendalam dan sebagai bentuk penghormatan kepada kita, itulah yang membuat kita mampu menguasainya secara psikologis. Sehingga kita mampu memenangkan perkara hanya dengan sebuah senyuman. Tanpa perlawanan dia akan menghormati kita. Jauh berbeda jika kita dengan serta merta memaki, membalas atau perlakuan sadis lain yang terkadang lebih ekstrim dari yang kita terima. Meskipun jelas-jelas ia yang salah. Tidak seorangpun suka dikritik dan disalahkan, pasti ia akan menyerang balik dengan membabi buta. Dan persoalan sepele bisa berubah menjadi peperangan besar. Lalu siapa yang menang, siapa yang kalah? Tidak ada, dua-duanya hancur tanpa jelas persoalannya.
Itulah sebabnya mengapa kita terpesona pada seseorang yang punya kharisma yang besar. Mungkin justru dia tidak banyak bicara, hanya diam, dan tersenyum. Tapi seisi negara bahkan seluruh dunia tunduk dan menghormatinya. Senyumannya menjadi magnet, kedipan matanya mampu memerintah seluruh negara. Bukan dengan berkoar-koar tapi menunjukkan penguasaan diri yang luar biasa. Dan itulah kekuatannya. Dunia ini adalah dunia materi, partikel dan medan magnetis yang saling terhubung. Kharisma adalah medan magnetis yang sangat kuat.
Diam sejenak memungkinkan kita melihat semua hal dengan jernih. Ibarat air dalam ember jika terus digoyang akan keruh dan semakin tidak jelas. Diamkan sejenak dan kotoran akan mengendap, disitulah kita akan melihat beningnya air, jernihnya persoalan. Dan itu hanya bisa dicapai jika kita mau mengalah dan tidak selalu ngotot ingin menang. Kemenangan akan kita peroleh dengan sendirinya, setelah kita bisa memenangkan diri sendiri. Kalau kita kalah terhadap diri sendiri bagaimana bisa memenangkan orang lain.
Penguasaan diri itu meliputi kerelaan memahami dan menerima orang lain. Ketika orang lain merasa dihargai, maka dia akan menghargai dan menghormati kita. Dan itulah kekuatan kita. Jiwa kita mempunyai kesempatan untuk berkomunikasi dengan jiwanya, dan itu tidak terhalang oleh batas apapun, batas pulau, benua, negara apalagi batas dinding tembok. Tidak ada yang membatasi jiwa. Karena semesta ini adalah satu jiwa yang saling terhubung.
Jadi mengalah adalah sebuah pilihan. Dan seorang pelompat tinggi akan mengalah mundur beberapa meter sebelum lari dan membuat lompatan yang menakjubkan. Tidak dengan serta merta melompat, karena pasti ia akan mendapatkan kegagalan.
Biarkan beberapa hal berjalan sebagaimana seharusnya berjalan, kita tidak perlu emosional manakala banyak hal tidak berjalan seperti keinginan kita saat ini. Kita tidak perlu ngotot. Karena semua hal yang berjalan di sekeliling kita pada akhirnya akan mengkristal dan mewujud untuk kebaikan kita. Jadi tanamkan keluhuran dan itu akan kembali kepada kita pada saatnya. Benih yang kita tanam itulah yang akan kita tuai. Biarkan ia tumbuh bersemi, berkembang, berbuah dan matang. Jangan memangkasnya saat baru tumbuh. Sabarlah, mengalahlah untuk tidak selalu mau menang saat ini.
Bagikan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar