google-site-verification: google6b90b9091f6ff7f2.html d klip: Cukup

Jangan hapus foto kamu sayang 'kan, coba jual aja disini ...!!

Jumat, 26 Maret 2010

Cukup




Dua minggu belakangan ini suasana batin dan pikiranku sedang runyam.  Bayangkan, suasana di kantor tidak cukup kondusif rekan kerja tiap hari yang diomongin ketidak adilan, mulai dari gaji, pembagian tugas, perselingkuhan, polygami, politik dan semacamnya sampai urusan negara masuk dalam pembicaraan. Masalah pemerintahan, korupsi, harga-harga yang mulai naik, properti, mobil dan sebagainya. Pusing kepala ini dipenuhi pembicaraan yang sekenanya dan kemana-mana itu.  Sementara batinku lagi hancur, orang yang aku sayangi yang aku pikir baik dan setia, ternyata kabur entah kemana.  Di tempat kerja, aku pikir bisa terhibur dan fokus dengan pekerjaanku ternyata harus terusik dengan macam-macam persoalan.  Dan aku hanya bisa menghela nafas panjang ... hehhh... TUHAN.

Tidak Adil
Terkadang aku sering bertanya dimana Tuhanku, saat aku membutuhkan kekuatan saat aku membutuhkan kasih sayang dan keadilannya kenapa Tuhan diam saja, tidak segera menolongku.  Temenku buru-buru protes dan menghakimiku.  " Lo yang gak bersyukur !" ucapnya penuh tekanan, maklum dia hamba Tuhan yang taat, sedang aku...!?  "

"Hidup ini harus disyukuri", lanjutnya. "Lihat lo udah dikasih lebih, sama Tuhan.  Tampang lo gak jelek-jelek amat, bahkan termasuknya lo ganteng.  Sayangnya lo terlalu serius, muka lo gak ada ekspresi senang atau bersahabat, sehingga orang sungkan sama lo.  Lo punya mobil, punya pekerjaan, biarpun lo masih tinggal di rumah kontrakan tapi hidup lo 'kan mestinya lebih dari cukup, lo mestinya senang.  Coba lo bayangin, orang-orang yang gak punya pekerjaan, pengangguran, tinggal di kolong jembatan ...." dan seterusnya temenku terus nyerocos kasih khutbah.

Da busyet ... gak ada hujan gak ada angin seperti disambar petir rasanya diriku.  Ini orang minum dimana mabuk dimana, pikirku dalam hati.  Kenapa tiba-tiba dia nyerocos terus kasih khutbah pagi-pagi, mana saya belum sarapan, baru juga nyampe di tempat kerjaan.  Apa khutbah di gereja kemarin belum cukup aku terima, sehingga Tuhan masih suruh dia untuk menegaskan pesannya.  Atau mungkin temanku sedang mengalami pencerahan.  Entahlah.  Tapi setelah aku renungkan, benar juga sih apa kata temanku itu. Meskipun jujur saja, aku gak munafik kadang masih sulit menjalaninya.

Aku sering kesal dan marah sama Tuhan.  Tuhan tidak adil, kenapa harus aku yang menerima semua penderitaan ini.  Di saat aku setengah mati mencintai pujaan hatiku, rela berkorban, memberikan dan melakukan apapun untuknya, waktu, tenaga, materi dan dukungan saat dia jatuh dan sekarat. Tetapi kekasihku lebih memilih pergi, meninggalkan aku merana begini.  Dimana keadilan Tuhan, hatiku hancur, tulang-tulangku rasanya remuk tak berdaya. 

Kenapa harus aku yang menerima ini, aku orang yang baik dan bertanggungjawab justru mendapat perlakuan seperti ini.  Mengapa bukan mereka yang suka mengobral cinta, mendapat periode waktu tidak laku sehingga mereka bisa menghargai apa artinya cinta, apa artinya kehilangan, apa artinya ketulusan.  Kenapa hidup lebih berpihak kepada mereka yang brengsek, bukan kepada mereka yang baik-baik.  Kenapa orang yang bertabiat kurang baik, justru mendapat kekayaan, kemewahan dan kelimpahan, mengapa bukan Bi Inah yang mati-matian kerja membanting tulang peras keringat dari bedug Subuh, sampai menjelang dini hari tengah malam hanya untuk sesuap nasi dan cukup kebutuhan hidup sehari-hari tidak lebih.
Saya sering protes dan bertanya kepada Tuhan, tapi sepertinya Tuhan diam saja. Gak menjawab doa atau pertanyaan saya, sampai saya lelah dan pasrah. 


Kebahagiaan
"Mas, saya cukup bahagia," kata Bi Inah pada suatu ketika.  " Anak saya tiga, yang besar kelas 1 SMA, yang kedua kelas 2 SMP sebentar lagi butuh biaya untuk melajutkan ke SMP, dan yang bontot kelas 2 SD.  Saya perlu biaya banyak untuk menyekolahkan mereka, makanya saya kerja keras.  Beruntungnya mereka mendapat beasiswa, jadi nggak terlalu berat bagi saya.  Mas tahu, saya janda.  Bapaknya anak-anak kabur sama perempuan gak bener.  Kami ditinggal tanpa tanggung jawab.  Awalnya kami limbung hancur dan gak berdaya, sehingga kami harus ditampung di rumah orang tua saya, tapi yahh... hidup harus berlanjut mas.  Karena melihat anak-anaklah saya harus kuat.  Saya harus kerja, serabutan apa saja yang penting bisa menyekolahkan anak-anak saya.  Anak-anak saya adalah kekuatan saya, saya nggak bisa meratapi nasib terus-menerus.  Mereka membutuhkan saya.  Anak-anak saya nggak boleh melihat air mata saya, mereka harus tersenyum dan ceria.  Mereka harus bahagia, karenanya saya nggak boleh sedih di depan mereka. Mas tahu, nggak ada yang lebih membahagiakan selain membuat orang-orang yang kita cintai tersenyum.  Jangan membuat mereka sedih, karena itu hanya akan menyakiti hati kita sendiri.  Buatlah mereka bahagia dan kita akan turut merasakan kebahagiaan itu, dan semua keletihan ini hilang terhibur oleh mereka. "

Saya tersenyum kagum dengan kebesaran hati seorang Bi Inah, dan diam-diam mencoba merenungkan kata-kata Bi Inah.  Mungkin selama ini saya salah mengukur semua kebahagiaan itu dengan materi, kelimpahan, selalu dicintai dan dikagumi orang-orang dekat dan kekasih hati.  Meskipun tidak salah juga menjadi kaya, terkenal, jadi pujaan dikagumi dan disayangi, karena siapa sih yang mau jadi kere, gembel.  Saya yakin gak ada yang mau, apa enaknya jadi orang miskin.

Tapi kebahagiaan adanya di hati, bukan di harta kita.  Ketika kita mampu menyeka air mata seorang anak kecil yang merengek menangis gak karuan dan membuatnya tersenyum, tertawa ceria.  Disitulah kebahagiaan yang sesungguhnya, kita jadi ikut tertawa gembira.  Meskipun yang kita berikan hanya sebuah perhatian, rayuan dan canda dengan berlutut di hadapan dia sehingga kita sama posisinya atau lebih rendah darinya dan memperlakukan dia seakan dia raja atau ratu.  Kita tidak memberikan coklat, permen atau ice cream seperti permintaannya, tetapi perhatian yang tulus, senyuman yang membahagiakan sanjungan, rayuan dan canda yang membuatnya tersenyum dan tertawa lepas.  Dan apa yang kita rasakan ketika kita berhasil membuatnya tertawa? 

Mampukah kita membuat orang lain tertawa bahagia, dan samakah yang kita rasakan ketika kita melepas orang yang kita kasihi untuk pergi meninggalkan kita?  Dan apakah kita menjadi bahagia melihat orang yang kita kasihi menderita karena bersama kita? 

Sore itu panas sekali, hawanya gerah saja mungkin malam akan turun hujan karena mendung mulai gelap.  Aku terpaksa nyalakan AC karena gak tahan panasnya.  Mobil aku jalankan pelan, hari telah sore beban pekerjaan hari ini telah aku selesaikan dan saatnya aku pulang.  Benar juga dugaanku, di tengah perjalanan hujan turun dengan derasnya, aku terpaksa harus nyetir dengan hati-hati karena banyak kubangan di jalan yang nggak kelihatan waktu hujan apalagi jalanan suka banjir. 

Dari CD Player mengalun pelan lagu penyembahan ..." Ku tak membawa apapun juga, saat ku datang ke dunia, kutinggal semua pada akhrnya saat ku kembali ke surga,  Inilah yang kupunya hati sebagai hamba yang mau taat dan setia pada-Mu Bapa .... "  Hujan terus mengguyur dengan deras, dan seperti biasa sepanjang lampu merah kemacetan tak terhindari.  Lagu penyembahan terus mengalun, dan mulai menggugah hatiku dan air mata mulai mengalir di sudut-sudut mataku, seorang anak kecil basah kuyup kehujanan lari-larian kesana kemari menawarkan ojek payung kepada setiap penumpang yang baru turun atau mau naik angkutan umum, dan aku lihat tak seorangpun yang menghiraukannya mungkin karena payungnya kecil dibanding teman-temannya yang lebih besar.  Dan aku hanya diam di belakang setir, tak mampu berbuat apa-apa.  Tuhan selalu berbicara, selalu menjawab semua pertanyaanku, hanya aku yang gak memperhatikan.  Aku duduk dengan nyaman di dalam mobil ini, sementara di luar orang-orang basah kuyup lari-larian mencari perlindungan, di luar sana mereka yang jualan di kaki lima kalang kabut menyelamatkan dagangannya, di luar sana seorang pengemis menggigil kedinginan karena halte bus tidak lagi mampu menampung orang, dan orang enggan menerima kehadirannya. 
Tuhan.... ahh... banyak hal yang aku lupakan, banyak hal yang lupa aku syukuri.
(dn'2010)



Bagikan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar